Hai teman-teman maaf yah dah lama ngak nulis soalnya bulan-bulan kemaren novhi lagi sibuk-sibuknya.
nah skarang aku mau nulis tentang pr geo khu kemarin yaitu karya tulis tentang pengaruh pembangunan kelapa sawit dikalimantan.
Oh iya kalau mau copas izin dulu ya kalau ngak ngak iklas loh :P.
Izinnya di koment aja law tak lewat alat yahoo di erliana_novi@yahoo.com.
my fb erliana novi n my twitter @erliana_novi
Pembangunan kelapa sawit di Kalimantan
BAB I Pendahuluan
BAB II Isi
Pengaruh Perkebunan Kelapa Sawit
Terhadap Masyarakat Pedalaman Kalimantan
1. Respon masyarakat atas hadirnya
perkebunan kelapa sawit disekitar sembuluh
2. Sikap masyarakat terhadap perkebunan sawit
1. Kelompok masyarakat yang menolak
perkebunan sawit
2. Kelompok mayarakat yang mendukung perkebunan
sawit
3.
Peran Pemerintah Setempat Dalam Mengatasi Masalah
4.
Biaya lingkungan dan biaya sosial
BAB
III Penutup
1.
Kesimpulan
2.
Saran
BAB
IV Gambar-gambar pembangunan kelapa sawit dipedalaman
Kalimantan
BAB
V Pertanyaan Dan Jawaban
BAB
I
Pendahuluan
Pembangunan
merupakan suatu proses perubahan yang diharapkan mengarah pada pencapaian
kondisi menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya. Pembangunan Perkebunan
merupakan bagian integral dari pembangunan, dimana pembangunan perkebunan
menyentuh langsung pada masyarakat dan mampu menjadi menyokong bagi
perekonomian perdesaaan. Pembangunan biasanya menyebabkan perubahan kondisi
fisik, social dan tatanan lingkungan.pembangunan sector perkebunan menakibatkan
adanya perubahan lingkungan, social budaya, dan ekonomi bagi berbagai
pihak.perubahan kearah perbaikan pengembangan perkebunan dapat terkendala oleh
factor teknis, alam dan permodalan yang dimiliki pelaku usaha perkebunan.
Aspek-aspek yang menjadi pertimbangan adalah bagaimana meminimalisir akibat
yang ditimbulkan dari adanya dampak-dampak las an yang diakibatkan dalam
pengelolaan usaha perkebunaaan.
Dampak yang
langsung dirasakan saaat ini di Kalimantan Tengah sehubungan dengan adanya penataan,
perencanaan dan proses investasi bidang perkebunaan yang kurang memperhatikan
factor lingkungan dan social, sehingga timbul konflik yang berkepanjangan dan
menjadi suatu hal yang bila terus dibiarkan akan menjadi sumber persoalan
diwaktu yang akan dating. Sebagai akibat dari dampak-dampak las an tersebut
adalah tergangunya kinerja pemerintah, ketaatan administrasi oleh perusahaan
dan keterlibatan masyarakat harus terus diantisipasi dengan memadukan dan
langkah-langkah yang sesuai dengan perencanaan.
Berdasarkan
regulasi pemerintah masih dimungkinkan adanya konversi areal berhutan dan
kawasan hutan menjadi pengunaan sector lainnya, tidak serta merta aspek
lingkungan dan konservasi dapat diabaikan begitu saja. Undang-undang No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 19, mengamanatkan bahwa perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan
didasarkan pada penelitian terpadu.
Pembangunan
perkebunan kelapa sawit di pedalaman Kalimantan adalahh salah satu dari sekian
banyak kasus tentang tindakan ekonomi perusahaan yang merugikan
masyarakat.Munculnya kelompok dalam masyarakat yang menolak kehadiran
perkebunaan sawit di sekitar tempat tinggal mereka telah menimbulkan konflik .
Konfliknya pun
bermacam – macam dari konflik proses masuknya PT AI atau PT Agro Indomas tahun
1995/1996, yaitu melakukan pengukuran dan land clearing tanpa ada proses
perundingan dengan masyarakat sembuluh, lalu persoalan ganti rugi lahan yang
belum di bayarkan, persoalan batas tanah yang, dan makam yang dianggap keramat
ikut “dibersihkan”.Dan munculnya dua kelompok masyarakat. Yaitu kelompok
masyarakat yang menolak perkebunan sawit dan kelompok masyarakat yang mendukung
perkebunan sawit.
Alasan masyarakat
menolak kehadiran perkebunan sawit. Pertama adalah tergusurnya ladang dan hutan
tempat masyarakat bekerja. Kedua adalah mereka yang dengan kesadaraannya
berusaha untuk melidungi masa depan lingkungan social dan ekonominya.Dan las an
masyarakat mendukung perkebunan sawit. Pertama adalah karena untuk
mendapatkan uang. Kedua adalah karena mereka tidak dapat menolak program
perkebunan sawit yang secara nyata didukung oleh pemerintah.
Dan masyarakat
pun pernah melakukan suatu aksi. Yaitu pada 18 Oktober 1999 mereka melakukan
aksi ke DPRD yang kemudian diteruskan dengan pemotongan jembatan milik PT AI
(Agro Indomas) pata 11 November 1999.
Maksud dari karya tulis saya ini dalah untuk memberitahu kepada pembaca apa
saja respon masyarakat terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit,
sikap masyarakatnya, peran pemerintah dalam mengatasi masalanhnya, dan saya
juga akan memberikan pendapat atau saran saya terhadap pembangunan
perkebunan kelapa sawit ini.
Selanjutnya marilah kita membaca karya tulis ini …………
Disusun Oleh
ERLIANA NOFITRI (X4)
BAB
II
ISI
Pengaruh
Pembangunan Perkebunan Sawit Terhadap Masyarakat Pedalaman Kalimantan
1. Respon Masyarakat Atas Hadirnya Perkebunan Sawit di
Sekitar Sembuluh
Antara
tahun 1996 hingga 1999, sebagian besar masyarakat Sembuluh masih menolak
kehadiran perkebunan sawit di Sembuluh, namun, setelah 2001 banyak di antara
masyarakat yang kemudian melepaskan tanahnya kepada perusahaan perkebunan
sawit. Meskipun demikian, tidak berarti proses pendirian perkebunan sawit
berjalan lancar, karena proses pelepasan lahan milik masyarakat kepada
perusahaan perkebunan sawit berjalan lambat sehingga menghabiskan waktu banyak.
Akibatnya, pihak perusahaan juga merasa dirugikan secara material atas
tertundanya pendirian perkebunan sawit. Munculnya kelompok dalam masyarakat
yang menolak kehadiran perkebunan sawit di sekitar tempat tinggal mereka telah
menimbulkan konflik vertikal dan horisontal, yaitu antara masyarakat dengan
pihak pengelola perkebunan sawit, dan antar kelompok dalam masyarakat.
Meskipun
perusahaan perkebunan sawit berhasil melakukan land clearing, penanaman kelapa
sawit, di saat krisis ekonomi tengah berlangsung, namun mereka harus menghadapi
penolakan dari beberapa kelompok masyarakat di Sembuluh, dan juga kelompok
masyarakat sipil di tingkat nasional dan internasional (Casson, 2001). Terutama
PT AI (Agro Indomas) yang beroperasi di sekitar desa Sembuluh, mereka harus
menghadapi demonstrasi dan sabotase yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
yang merasa dirugikan atas beroperasinya perkebunan kelapa sawit milik PT AI.
Sejak
awal masuknya PT AI di sekitar Sembuluh memang sudah menimbulkan konflik.
Proses masuknya PT AI sejak tahun 1995/1996, saat itu melakukan pengukuran dan
land clearing tanpa ada proses perundingan dengan masyarakat Sembuluh. Kebun
dan ladang yang terdapat di sekitar Sembuluh digarap tanpa sepengetahuan
masyarakat. Seperti disinggung sebelumnya, BP, seorangstaf PT AI, mengakui
bahwa perusahaan menerapkan strategi mengakuisisi lahan milik terlebih dahulu
tanpa negosiasi dengan masyarakat. Strategi ini dilakukan sebelum tahun 1998,
karena menurut pihak perusahaan telah memperoleh izin dari Pemerintah Kabupaten
Kotim. Pada saat itu, terdapat anggapan bahwa hutan di sekitar Sembuluh adalah
milik negara, dan bukan milik masyarakat. Selain itu, konteks politik saat itu
(masa rejim Orde Baru) memang memberikan peluang lebih besar kepada perusahaan
dari pada kepada masyarakat.
Sesungguhnya,
kejengkelan masyarakat terhadap PT AI tidak hanya berakar pada persoalan ganti
rugi lahan yang belum dibayarkan. Tetapi, pada proses land clearing yang
dilakukan oleh PT AI telah menyebabkan konflik antara masyarakat Desa Terawan
dengan Desa bangkal (keduanya berbatasan langsung dengan Desa Sembuluh) karena
persoalan batas tanah. Selain itu, terdapat makam yang dianggap keramat oleh
masyarakat yang terletak di Sungai Dilam dekat Desa Terawan yang turut
“dibersihkan” oleh PT AI. Hal lain yang dianggap merugikan masyarakat adalah cara
PT AI membersihkan lahan dengan membakar hutan. Karena, selain menimbulkan
dampak polusi, masyarakat juga sering menjadi sasaran tuduhan sebagai pembakar
hutan oleh pemerintah.
Merespons
demonstrasi masyarakat tersebut, PT AI kemudian bersedia memberikan ganti rugi
lahan tahap I yang dilakukan pada tahun 1998. Namun, ganti rugi tersebut tidak
dianggap tidak memuaskan dari pihak masyarakat, karena PT AI hanya memberi Rp
50 per meter persegi untuk kebun buah-buahan dan Rp 25 per meter untuk lahan
ladang dengan tanaman ringan. Namun pada saat yang, PT AI juga masih melakukan
land clearing untuk memperluas area perkebunan sawit. Situasi tersebut membuat
masyarakat semakin marah dan berencana melakukan aksi lebih lanjut. Pada 18
Oktober 1999 mereka melakukan aksi ke DPRD yang kemudian diteruskan dengan
pemotongan jembatan milik PT AI pada 11 November 1999.Aksi sabotase ini
dipimpin oleh Wardian, salah satu tokoh masyarakat Sembuluh dan diikuti oleh
300 warga Sembuluh, dan Desa Bangkal serta Terawan.
Adapun
isu yang diangkat oleh masyarakat Sembuluh dalam aksi tersebut tidak hanya
menuntut masalah ganti rugi lahan saja, tetapi masyarakat juga menuntut:
Penyelesaian
konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat;
(1)
Perusahaan harus menanggulangi bahaya yang akan mengancam akibat
kerusakan
lingkungan;
(2)
Perusahaan perkebunan harus dapat memberikan jaminan untuk meningkatkan
kesejahteraan
dimasa datang karena berbagai bidang usaha rakyat sudah banyak
yang
terganggu dan hilang.
2. Sikap Masyarakat terhadap Perkebunan Sawit
Seperti
diberitakan di berbagai media, terutama media lokal, pada waktu proses
pembukaan lahan untuk area perkebunan, telah menimbulkan konflik antara
perusahaan perkebunan dengan masyarakat Sembuluh. Selain konflik, masuknya perusahaan
perkebunan sawit telah menimbulkan beragam respon dari masyarakat Sembuluh.
Pertama, masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit di sekitar desa mereka
karena hampir kebanyakan lokasi perusahaan menempati lahan milik masyarakat.
Kedua, masyarakat yang menerima dengan senang hati karena diuntungkan dengan
proses pembangunan perkebunan sawit.
1.
Kelompok Masyarakat yang Menolak Perkebunan Sawit
Sebagian
masyarakat Sembuluh menganggap bahwa perusahaan perkebunan akan menghalangi
akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi mereka, dalam hal ini hutan dan
ladang tempat bekerja masyarakat. Alasan masyarakat Sembuluh menolak hadirnya
perkebunan sawit karena perusahaan perkebunan sawit dianggap akan mengambil
alih lahan mereka, yang berarti akan menutup sumber penghidupan mereka. Selain
itu, masyarakat tidak menyukai cara-cara kerja perusahaan perkebunan yang
menyerobot lahan milik mereka secara langsung tanpa membicarakannya terlebih
dahulu.
Noveria
dkk., (2005) menyatakan bahwa terdapat dua alasan mengapa masyarakat yang
menolak kehadiran perkebunan sawit. Pertama adalah tergusurnya ladang dan hutan
tempat masyarakat bekerja. Mayoritas masyarakat Sembuluh adalah peladang dan
pencari kayu, atau setidak-tidaknya mereka pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan
tersebut. Seperti disebutkan di bab sebelumnya, masyarakat Sembuluh adalah
peladang berpindah. Mereka membuka hutan, kemudian berladang selama dua hingga
lima tahun dan setelah dianggap tidak subur mereka akan meninggalkan ladang
tersebut untuk mencari ladang yang baru lagi. Namun, dengan hadirnya perkebunan
sawit dalam skala yang besar, maka masyarakat Sembuluh tidak dapat melakukan
aktivitas berladang lagi. Kedua, adalah mereka yang dengan kesadarannya
berusaha untuk melindungi masa depan lingkungan sosial dan ekonominya.
Masyarakat
yang menentang perkebunan sawit tersebut sebagian besar adalah bekas peladang,
pedagang, juga aparat pemerintah desa yang cukup gigih mempertahankan lahan
miliknya. Beberapa diantara mereka, secara ekonomi sudah cukup mapan dan tidak
perlu terlalu khawatir akan kehilangan sumber penghasilan dari lahan yang akan
ditempati oleh perusahaan perkebunan. Rusaknya lingkungan alam sehingga
generasi muda di wilayah tersebut kemungkinan akan mengalami berbagai akibat
buruk di masa mendatang hal inilah yang menjadi fokus utama kekhawatiran
mereka.
2.
Kelompok Masyarakat Yang Mendukung Perkebunan Sawit
Sebagian
masyarakat Sembuluh dapat menerima kehadiran perkebunan sawit di sekitar mereka
karena merasa diuntungkan dengan proses pembangunan perkebunan sawit. Misalnya
adalah para penduduk yang merasa memiliki lahan yang luas, para makelar tanah,
penduduk yang tidak memiliki tanah namun terlibat dalam pembebasan lahan, dan
sebagian aparat pemerintahan desa, aparat kecamatan serta aparat kabupaten, dan
juga para pegawai perusahaan. Kelompok ini merupakan pendukung utama perkebunan
sawit. Masyarakat yang dikategorikan sebagai pendukung perkebunan sawit karena
secara terang-terang mendukung program tersebut dan mereka yang dengan sukarela
menjual lahannya untuk perusahaan perkebunan sawit. Di antara mereka bahkan ada
yang menjadi agen aktif, yaitu secara aktif mempengaruhi anggota masyarakat
lainnya untuk mendukung program perkebunan sawit atau mempengaruhi orang lain
untuk menjual lahannya kepada perusahaan perkebunan sawit. Beberapa agen aktif
ini adalah aparat desa yang mempunyai posisi penting dan pengaruh yang kuat di
masyarakat. Mereka ini biasanya mempunyai “hubungan khusus” dengan perusahaan
(Noveria dkk., 2005).
Dilihat
dari motivasinya, Noveria dkk. (2005) menyatakan terdapat dua kelompok yang
dapat dinyatakan sebagai pendukung program perkebunan sawit. Pertama adalah
kelompok yang menjual lahannya karena alasan untuk mendapatkan uang. Kebutuhan
akan barang-barang dan gaya hidup yang mewah telah menyebabkan sebagian
masyarakat memerlukan uang dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang cepat.
Meskipun Sembuluh adalah desa terpencil, namun sebagian masyarakat telah
terpengaruh oleh budaya konsumen seperti yang terjadi di kota-kota besar. Misalnya,
banyaknya barang-barang elektronik dan gaya hidup yang relatif mewah telah
menjadi pemandangan sehari-hari di Sembuluh. Kedua adalah kelompok yang secara
sadar menjual lahannya karena mereka tidak dapat menolak program perkebunan
sawit yang secara nyata didukung oleh pemerintah. Sebagian penduduk melihat
bahwa program perkebunan sawit adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah
yang harus dipatuhi. Juga menyadari bahwa mereka tidak mungkin menang melawan
kolaborasi antara perusahaan besar dan pemerintah. Selain memiliki modal
finansial yang besar, lawan yang dihadapi adalah berkuasa sekali. Di sisi lain,
perusahaan juga menawarkan uang yang cukup besar dan dalam waktu yang cepat.
Maka dari itu, tidak ada pilihan bagi penduduk untuk menerima program
perkebunan sawit.
3. Peran Pemerintah Setempat Dalam Mengatasi Masalah
Berdasarkan
regulasi pemerintah masih dimungkinkan adanya konversi areal berhutan dan
kawasan hutan menjadi pengunaan sector lainnya, tidak serta merta aspek lingkungan
dan konservasi dapat diabaikan begitu saja. Undang-undang No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, khususnya pasal 19, mengamanatkan bahwa perubahan peruntukan
dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada
penelitian terpadu.
Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas seta benilai strategis,
ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Yang
dimaksud “Berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai stategis”,
adalah perubahn yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan
iklim, ekosistem dan gangguan tata air, serta ganguan dampak ekonomi masyarakat
bagi kehidupan generasi sekarang dan genersi yang akan datang.
Mempertimbangkan berbagai kemungkinan dampak ekologis, serta berbagai sentiment
negative didunia internasional terhadap pengembangan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia, maka pemerintah daerah provinsi Kalimantan Tengah harus mengambil
langkah pro-aktif yang bertujuan untuk memperbaiki citra negatif tentang
pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan memperkenalkan pengelolaan kebun kelapa
sawit yang berwawasan lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Apalagi bila
dilihat dari target pemerintah provinsi Kalimantan Tengah, yang menempatkan
sektor perkebunan sebagai sektor andalan penghasil devisa mengantikan sector
kehutanan, sejaktahun 2005.
Tekait dengan rencana persiapan Rancangan Peraturan daerah (RAPERDA)
pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, maka selayaknya
Rancangan Perda tersebut harus mengakomodasi berbagai hal yang menjadi isu
utama, terkait dengan isu linhkungan.
Apabila di cermati dengan seksama maka perhatian, kekhawtiran, serta hal-hal
yang harus dipertimbangkan, sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan
yang selama ini (seharusnya) menjadi landasan kebijakan pemerintah. Peran
pemerintah dengan demikian sangat sentral dengan memberikan arahan dalam
pengembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, Untuk
mengarahkan para pengelola perkebunan kelapa sawit dengan prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan.
Pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah perlu membentuk organisasi dan
institusi penunjang lainnya atau meningkatkan kapasitas kelembagaan yang ada,
yang akan mendukung terlaksananya dengan baik dan benar semua prinsip dan
kriteria lingkungan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan dikalimantan tengah;
Untuk lebih mengakomodasi terjaminnya implementasi aspek lingkungan untuk
tujuan yang lebih oprasional, perubahan atau perbaikan kelembagaan menjadi
pokok ulasan yang perlu dipertimbangkan. Perubahan institusi terdiri dari dua
hal. Pertama, perubahan secara internal atau proses institusisionalisasi atau
pelembagaan. Kedua, perubahan norma atau nilai-nilai atau struktur yang menjadi
karakteristik institusi tersebut;
Tuntutan untuk melakukan perubahan institusional tidak dapat dihindari,
mengingat isu lingkungan sudah menjadi isu lintas batas, lintas benua, lintas
sektoral dan lintas disiplin ilmu, yang belum bias terakomodasi dan
tergambarkan dari struktur kelembagaan yang ada saat ini di provinsi Kalimantan
Tengah.
Dalam melaksanakan kewenangan di bidang pengelolaan
sumber daya alam pemerintah wajib untuk :
1. Mencegah adanya usaha-usaha
monopoli atas sumber daya alam baik yang dilakukan perorangan, kelompok
masyarakat maupun badan usaha swasta atau pemerintah;
2. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam
dan produktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk menjamin kemakmuran
dan peningkatan harkat dan martabat hidup masyarakat;
3. Menjamin pemenuhan hak generasi
sekarang maupun generasi masa depan, laki-laki dan perempuan, untuk menguasai
dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan;
4. Memberikan jaminan social bagi
masyarakat yang tidak menguasai sumber daya alam tetapi bekerja dalam usaha –
usaha pemanfaatan sumber daya alam;
5. Memperluas kesempatan berusaha,
melakukan pemberdayaan, mengembangkan kapasitas kelembagaan, dan memberikan
perlindungan social kepada masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumber daya
alam.
6. Menjamin keberlangsungan daya dukung
ekosistem, fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
4. Biaya lingkungan dan biaya social
Besarnya biaya lingkungan dibedakan menjadi high
value dan low value. High value dipilih berdasarkan metoda benefit transfer, yaitu dari hasil penelitian pada ekosistem
hutan hujan tropis di beberapa Negara . low
value dan presentase “trust” factor adalah
asumsi yang dibuat berdasarkan kondisi Indonesia untuk mendapatkan reasonable minimum values dari biaya
dari biaya lingkungan dan biaya sosial. Selanjutnya, reasonable minimum values ini dipergunakan dalam perhitungan
analisis valuasi ekonomi investasi perkebunan kelapa sawit.
Bebagai biaya lingkungan yang terjadi dalam kenyataannya selama ini tidak
pernah diperhitungkan sebagai biaya yang harus ditanggung (dibayar) oleh
perusahaan. Oleh karena itu, biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi
tidak pernah turut dihitung dalam analisis finansial perkebunan kelapa sawit.
Biaya lingkungan adalah semua biaya yang timbul karena terjadinya kerusakan
dan/atau permasalahan lingkungan sebagai akibat dari pelaksanaan suatu kegiatan
tertentu, misalnya pembangunan perkebunan kelapa sawit. Dengan perkataan lain,
pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan melakukan konversi hutan alam
tropika basah menimbulkan dampak negative terhadap lingkungan. dampak negative
terhadap lingkungan ini sesungguhnya merupakan kerugian ekonomi yang harus di
bayar kepada masyarakat dan/atau pihak lainnya. Di samping itu, hutan alam yang
ditebang habis menyebabkan berkurang/hilangnya habitat bagi satwa liar.
Kerugian yang timbul akibat hilangnya hutan alam karena ditebang habis, secara
umum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu 1) kerugian karena hilanya nilai
guna langsung, 2) kerugian karena hilangnya nilai guna tidak langsung. Kedua
jenis manfaat tersebut seharusnya dapat diberikan oleh ekosistem hutan alam
bila tidak dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Manfaat guna langsung
yang dapat diperoleh dari ekosistem hutan alam diantaranya adalah : hasil hutan
kayu, hasil hutan non-kayu, dan jaksa reaksi alam; sedangkan yang termasuk
dalam manfaat guna tidak langsung adalah manfaat yang berhubungan dengan fungsi
ekologis yang dapat diberikan oleh suatu ekosistem hutan alam. Diantaranya
adalah : pengendali ganguan, pengaturan dan penyedian air, mengendali erosi
tanah, siklus hara, dan perlakuan pemprosesan limbah.
Biaya- biaya lainnya yang timbul akibat diskonversinya hutan alam menjadi arel
perkebuna kelapa sawit dapat disebabkan oleh : 1) hilangnya keanekaragaman
hayati 2) terjadinya polusi, misalnya pencemaran yang disebabkan oleh pengunaan
pupuk dan pestisida dalam budidaya tanaman perkebunan kelapa sawit, serta
pencemaran bahan kimia cair yang berasal dari proses pengolahan TBS menjadi
CPO/KPO, 3)hilangnya kempuan hutan untuk menyerap karbon, dan 4) penyebaran ham
dan penyakit tanaman karena hutan alam dikonversi menjadi tanaman monokultur.
Kegiatan pembukaan dan pembersihaan lahan (land
clearning) untuk lokasi perkebunan kelapa sawit dalam kenyataannya
seringkali dilakukan dengan cara membakar agar biayanya murah dan cepat.
Pembersihan lahan dengan cara membakar ternyata menjadi salah satu penyebab
utama timbulnya bencana kebakaran hutan dan lahan diindonesia. kebakaran hutan
dan lahan semakin sering terjadi beberapa tahun ini, dan telah menyebabkan
kerusakan lingkungan serta menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, terutama
bagi masyarakat yang tinggal didaerah sekitar lokasi kebakaran hutan. Negara
tetanga Indonesia, yaitu Singapura dan Malaysia juga mengalami dampak
negatifnya, terutama akibat asap polusi kebakaran hutan dan lahn yang sampai
kewilayah tersebut.
Biaya
social adalah biaya yang timbul akibat terjadinya permasalahan dan/atau konflik
sosial dalam pelaksanaan kegiatan proyek pembanguna perkebuana kelapa sawit.
Misalnya adalah biaya yang (potensial) dikeluarkan akibat terjadinya konflik
lahan antara perusahaan perkebunan dengan mayarakat lokal yang tingal dilokasi
perkebunan kelapa sawit.
Konflik lahan sering terjadi karena areal HGU perkebunan kelapa sawit yang
diberikan pemerintah kepada pengusaha perkebunan (berdasarkan surat ijin resmi
permerintah ) ternyata berada di areal yang di klaim oleh masyarakat sebagai
areal tanah miliknya, atau berada pada areal lahan hak ulayat (hak komunal)
masyarakat adat. Akar masalah konflik ini utamanya disebabkan karena pemerintah
dalam menetapkan tata guna lahan tidak pernah melibatkan masyarakat, khususnya
masyarakat adat. Hak–hak masyarakat adat atas suatu areal lahan tertentu yang
sesungguhnya sejak lama (sebelum masa kemerdekaan RI) telah menjadi hak ulayat
(hak komunal) pada tahun 1990-an pun dibuat dan disepakati tanpa melakukan
mekanisme konsultasi publik (tanpa melibatkan masyarakat). Akibatnya klaim
lahan perkebunan oleh masyarakat terjadi diberbagai lokasi pembangunan perkebunan
kelapa sawit, khusunya pada areal pekebunan kelapa sawit skala besar.
Penyelesaian konflik ini sering kali berlarut-larut, bahkan akhirnya
menimbulkan konflik social yang merugikan kehidupan social-ekonomi masyarakat
yang terlibat konflik, termasuk karena masyarakat tidak dapat mengarap lahn
mereka yang telah diambil oleh perusahaan. Bagi pengusaha perkebunan kelapa
sawit, konflik lahan yang berubah menjadi konflik sosial, antara pihak
perusahaan dengan masyarakat, menimbulkan risiko serta ketidakpastian usaha.
Konflik sosial yang terjadi dapat menyebabkan perusahaan harus mengeluarkan
biaya tambahan untuk perlindungan terhadap kegiatan oprasi perusahaan, utamanya
untuk menghindar agar tidak terjadi perusakan (bahkan pembakaran) asset-aset
perusahaan.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pengembangan perkebunan kelapa sawit bisa memberikan banyak
keuntungan bagi semua pihak apabila dikelola secara bijak. Permasalahan atas
pengembangan kelapa sawit akan muncul manakala salah satu atau banyak pihak
merasa dirugikan. Hal tersebut dapat memicu terjadinya konflik yang harus
dihidari serta keselarasan hidup yang dijaga bersama.
2. Saran saya adalah :
Terwujudnya
kesejahteraan masyarakat tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi. Setiap
melakukan kegiatan ekonomi pertanian sebaiknya juga memperhatikan berbagai
aspek lain seperti sosial budaya dan ekologi, serta menjalin komunikasi yang
baik dan efektif agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Dan
seharusnya pemerintah mengarahkan para pengelola perkebunan kelapa sawit. Agar
mengelola perkebunannya dengan cara-cara yang tidak merusak alam.
BAB V
Pertanyaan Dan Jawaban
1. Apa saja bentuk kebijakan
perusahaaan yang merugikan masyarakat ?
- Membuka lahan dengan
membakar hutan.
- Ganti rugi lahan yang tidak
memuaskan.
2. Bagaimanakah reaksi atau tangapan
masyarakat terhadap tindakan perusahaan ?
Jawab
:
Sebagian
masyarakat sembuluh menganggap bahwa perusahaan perkebunan akan menghalangi
akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi mereka. Alasan masyarakat sembuluh
menolak hadirnya perkebunan sawit karena perusahaaan perkebunan sawit dianggap
akan mengambil alih lahan mereka, yang berarti akan menutup sumber kehidupan
mereka. Selain itu, masyarakat tidak menyukai cara-cara kerja perusahaaan
perkebunan yang menyerobot lahan milik mereka secara langsung tanpa
membicarakannya terlebih dahulu.
Dan
masyarakat tidak suka terhadap cara perusahaan membuka lahan hutan dengan cara
membakar hutan. Dan ganti rugi lahan yang tidak memuaskan yaitu Rp. 50 per
meter persegi untuk kebun buah-buahan dan Rp. 25 persegi untuk lahan ladang
dengan tanaman ringan.
3. Bagaimana peran pemerintah setempat
dalam mengatasi permasalahan tersebut ?
- Pemerintah daerah provinsi
Kalimantan Tengah Perlu membentuk organisasi dan institusi penunjang lainnya
atau meningkatkan kafasitas kelembagaan yang ada, yang akan mendukung
terlaksananya dengan baik dan benar semua prinsip dan kriteria lingkungan dalam
pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Kalimantan Tengah;
- Untuk lebih mengakomodasi
terjadinya implementasi aspek lingkungan untuk tujuan yang lebih oprasional,
perubahan atau perbaikan kelembagaan menjadi pokok usulan yang perlu
dipertimbangkan. Perubahan institusi terdiri dari dua hal. Pertama perubahan
secara internal atau proses institusionalisasi atau pelembagaan kedua,
perubahan norma atau nilai-nilai atau struktur yang menjadi karakteristik
instituis tersebut;
4. Berikan Pendapat Anda tentang kasus
yang ditulis dalam paper ?
Terwujudnya kesejahteraan masyarakat tidak hanya dilihat
dari aspek ekonomi. Setiap melakukan kegiatan ekonomi pertanian sebaiknya juga
memperhatikan berbagai aspek lain seperti sosial budaya dan ekologi, serta
menjalin komunikasi yang baik dan efektif agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Dan seharusnya pemerintah mengarahkan para pengelola
perkebunan kelapa sawit. Agar mengelola perkebunannya dengan cara-cara yang
tidak merusak alam.
ijin copy ya, trims . . .
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusijin copas ya bro. thnks
BalasHapus